Rabu, 11 November 2015

review jurnal

Nama       Imamatul husni
Kelas        : 4EB22
NPM        : 23212645
TUGAS SOFTSKILL



JUDUL                      : Analisis Perbedaan Gender terhadap Perilaku Etis, Orientasi Etis dan     
  Profesionalisme pada Auditor KAP di Surabaya

PENGARANG         : Julia Rosdiana Dewi, Luky Patricia Widianingsih, Vierly Ananta Upa

PENERBIT               : Jurnal GEMA AKTUALITA, Vol. 3 No. 1, Juni 2014

ISI                               :

-          LATAR BELAKANG           :
Jasa audit akuntan publik sudah menjadi kebutuhan utama dalam memberikan opini bagi para pemakai laporan keuangan untuk pengambilan keputusan. Hal ini dikarenakan banyaknya kasus di dunia akuntan yang tidak lagi mempertimbangkan etika demi mendapatkan keuntungan yang besar, seperti kasus Enron tahun 2001, WorldCom tahun 2001, Kimia Farma tahun 2002, Telkom tahun 2002 dan Lippo tahun 2003 (Hery dan Agustiny, 2007).
Perilaku tidak etis muncul disaat seorang auditor melakukan pemeriksaan terhadap laporan keuangan suatu perusahaan. Tindakan tersebut merugikan banyak pihak yang terlibat dan menimbulkan ketidakpercayaan, baik terhadap laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan tersebut maupun kinerja para auditor.
Seorang auditor diwajibkan memiliki pengetahuan etika yang tinggi dan lebih sensitif terhadap kode etik akuntan publik. Selain itu, mereka juga harus menjaga standar perilaku etis tertingginya dan mempunyai tanggung jawab untuk menjadi kompeten, integritas dan objektivitas. Hal ini dikarenakan auditor selalu mengalami dilema etis yang akan melibatkan pilihan antara nilai-nilai yang bertentangan.
Sensitivitas etis menjadi salah satu syarat bagi seorang auditor untuk mengenali suatu isu etis. Banyaknya penelitian yang berfokus pada sensitivitas etika telah menumbuhkan gagasan bahwa proses sensitivitas etika seseorang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan etis.
Tingkat profesionalisme yang tinggi juga dituntut harus ada dalam diri seorang auditor untuk membangun kepercayaan publik, serta meyakinkan semua pihak terhadap kualitas jasa yang diberikan. Banyak isu yang mempertanyakan tentang keprofesionalismean seorang auditor karena kinerja mereka dalam memeriksa laporan keuangan yang buruk sehingga banyak mengandung kesalahan, baik disengaja maupun tidak disengaja.
Tindakan mengakibatkan kewajaran atas laporan keuanganmenjadi diragukan oleh para pemakai laporan keuangan (Herawaty dan Susanto, 2009). Abdurrahim (1998) dan Santosa (2001) dalam Ikhsan (2007) menyatakan bahwa terdapat perbedaan sikap antara pria dan wanita dalam merespon motivasi dan segala perubahan yang terjadi di lingkungan kerjanya. Hal ini dikarenakan adanya peran domestik di keluarga dan diskriminasi yang dihadapi oleh wanita dalam segala aspek sehingga mempengaruhi sikap profesionalisme mereka. Ikhsan (2007) sendiri menyatakan bahwa tidak ada perbedaan tingkat profesionalisme auditor jika dilihat dari perbedaan gender. Adanya ketidak konsistenan kinerja akuntan publik berdasarkan isu gender, baik dalam perilaku etis, orientasi etis maupun tingkat profesionalisme seorang auditor, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut dengan penelitian yang berjudul “Analisis Perbedaan Gender terhadap Perilaku Etis, Orientasi Etis dan Profesionalisme pada Auditor KAP di Surabaya”.


-          TUJUAN DAN MASALAH

·         RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, maka masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan perilaku etis, orientasi etis dan profesionalisme antara auditor pria dan wanita?

·         TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis tentang perbedaan perilaku etis, orientasi etis dan profesionalisme jika dilihat dari gender.


-          DATA
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang meneliti secara langsung auditor KAP melalui daftar pernyataan (kuesioner) yang telah terstruktur.

-          ALAT ANALISIS
Pengambilan sampel yang dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling. Penelitian ini melalui beberapa tahap analisis data. Tahap pertama adalah uji non respon bias untuk membandingkan jawaban responden yang kembali sesuai jadwal dengan yang tidak sesuai jadwal pengembalian melalui uji T-Test.
Pengujian ini merupakan perhitungan rata-rata tanggapan dari responden terhadap variabel-variabel penelitian dengan tarif signifikansi 5% (ρ > 0.05). Tahap kedua melakukan uji kualitas data, yaitu uji validitas dan uji reliabilitas. Uji validitas dilakukan dengan menggunakan analisis butir. Korelasi yang digunakan adalah pearson product moment dengan membandingkan nilai koefisien korelasi dengan 0.3. Hanya item yang memiliki nilai korelasi lebih tinggi dari 0.3 yang diikutsertakan dalam pengujian (Sugiyono, 2007). Uji reliabilitas dimaksudkan untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakan indikator dari variabel. Suatu kuesioner dikatakan reliable atau handal jika jawaban seseorang terhadap pernyataan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Reliabilitas dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan koefisien cronbach alpha. Jika nilai koefisien alpha lebih besar dari 0.6 maka disimpulkan bahwa instrumen penelitian tersebut handal atau reliable (Nunnally, 1960 dalam Ghozali, 2006).
Ketiga, peneliti melakukan uji normalitas untuk mengetahui apakah suatu variabel terdistribusi secara normal atau tidak (Ghozali, 2006). Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorof-Smirnov. Pengambilan keputusan dilakukan dengan membandingkan ρ value yang diperoleh dari hasil pengujian normalitas dengan tingkat signifikansi sebesar (α) 0.05. Data terdistribusi secara normal jika ρ value > (α) 0.05, tetapi jika ρ value < (α) 0.05 maka data tidak terdistribusi normal (Ghozali, 2006). Tahap terakhir, peneliti menganalisis perilaku etis, orientasi etis dan tingkat profesionalisme berdasarkan gender diukur menggunakan Independent Sample T-Test untuk menguji signifikansi beda rata-rata dua kelompok yang tidak berhubungan satu sama lain terkait variabel-variabel tersebut (Ghozali, 2006).

-          HASIL/KESIMPULAN

Uji Non Respon Bias
Pengujian non respon bias atas semua variabel pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tingkat signifikansi probabilitasnya di atas 0.05 (ρ > 0.05), dimana nilai ρ variabel perilaku etis sebesar 0.738, orientasi etis sebesar 0.45 dan profesionalisme sebesar 0.504. Hal ini berarti jawaban dari responden yang kembali tepat waktu dengan yang terlambat tidak terdapat perbedaan, sehingga semua data dapat diolah secara bersama-sama dan mampu menjelaskan kesimpulan penelitian.


Statistik Deskriptif
Tabel 2 menunjukkan nilai rata-rata sangat tinggi pada variabel perilaku etis, baik antara auditor pria dan wanita. Hal ini menunjukkan bahwa responden pria dan wanita memiliki perilaku etis yang sangat tinggi dalam melakukan pekerjaannya sebagai auditor. Nilai rata-rata pada variabel orientasi etis dan profesionalisme auditor pria dengan wanita memiliki kategori yang tinggi, tetapi nilai rata-rata responden pria lebih tinggi dibandingkan wanita. Oleh karena itu, responden pria dinyatakan lebih tinggi dalam berorientasi etis dan bersikap professional dibandingkan wanita.











Uji Validitas
     Pengujian ini menggunakan Pearson Correlation yang membandingkan nilai koefisien korelasi dengan 0.3 (df). Semua pernyataan dari variabel perilaku etis, orientasi etis dan profesionalisme pada penelitian ini menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasinya lebih besar dari 0.3. Hal ini berarti semua pernyataan yang berjumlah 51 butir dari 84 responden dapat dinyatakan valid. Data yang telah valid tersebut layak dipakai penulis pada pengujian selanjutnya dalam penelitian ini.

Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas ditentukan dengan koefisien Cronbach Alpha. Pengujian ini digunakan untuk menentukan konsistensi jawaban responden atas suatu instrument penelitian (Ikhsan, 2007). Nilai Cronbach Alpha pada Tabel 3 untuk variabel perilaku etis sebesar 0.827. orientasi etis sebesar 0.866 dan profesionalisme sebesar 0.870. Hal ini berarti semua variabel yang digunakan dalam penelitian ini nilai koefisien alpha lebih dari 0.6 dan dapat dinyatakan handal atau reliable. Jawaban dari 84 responden yang konsisten tersebut dapat digunakan oleh penulis untuk pengujian selanjutnya.

Uji Normalitas
Pengujian ini digunakan untuk mengetahui apakah suatu variabel terdistribusi secara normal atau tidak. Uji normalitas dalam penelitian ini menggunakan uji Kolmogorof-Smirnov dilakukan dengan bantuan program SPSS, dimana membandingkan ρ value yang diperoleh dengan tingkat signifikansi sebesar (α) 0.05. Hasil uji normalitas pada Tabel 4 menunjukkan nilai siginifikansi perilaku etis sebesar 0.346, orientasi etis sebesar 0.781 dan profesionalisme sebesar 0.179. Nilai signifikansi pada setiap variabel tersebut lebih besar dari taraf signifikansi (α) 0.05. Hal ini menyatakan bahwa H0 tidak dapat ditolak atau data telah terdistribusi secara normal.


Pengujian terakhir dalam penelitian ini adalah pengujian hipotesis yang menggunakan Independent Sample T-Test. Hal ini dikarenakan penelitian ini menguji tentang perbedaan antara responden pria sebanyak 40 orang dan wanita sebanyak 44 orang terhadap variabel perilaku etis, orientasi etis dan profesionalisme. Pengujian hipotesis dengan Independent Sample T-Test digunakan untuk menguji signifikansi beda rata-rata dua kelompok yang tidak berhubungan satu sama lain terkait variabel-variabel tersebut (Ghozali, 2006). Penarikan kesimpulan hipotesis dilihat dari hasil perbandingan tingkat signifikan uji T sebesar 0.05. Langkah pertama yang harus dilakukan dalam mengintepretasikan hasil uji T adalah mengidentifikasikan terlebih dahulu nilai signifikansi pada uji Levene.

Pada Tabel 5, variabel perilaku etis memiliki nilai signifikansi dari Uji Levene lebih besar dari batas toleransi 0.05, yaitu sebesar 0.111. Hal ini menunjukkan bahwa data perilaku etis antara auditor pria dan wanita memiliki varians yang sama. Nilai signikansi uji T pada equal variances assumed juga menunjukkan nilai yang lebih besar dari taraf signifikansi 0.05, yaitu sebesar 0.996. Hasil analisis uji T pada variabel perilaku etis ini menyatakan bahwa tidak ada perbedaan perilaku etis antara auditor pria dan wanita. Variabel orientasi etis memiliki nilai signifikansi uji Levene yang lebih besar dari batas toleransi 0.05, yaitu sebesar 0.583. Hasil uji Levene ini menetapkan bahwa data orientasi etis memiliki varians yang sama antara auditor pria dan wanita. Uji T pada variabel ini memberikan nilai signifikan yang lebih besar dari taraf signifikansi 0.05. Hal ini dapat dilihat pada nilai signifikan T – Test dari equal variances assumed sebesar 0.279. Nilai uji T yang lebih besar dari taraf signifikan tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan orientasi etis antara auditor pria dan wanita. Uji Levene pada variabel profesionalisme juga menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0.626 yang lebih besar dari batas toleransi 0.05. Hal ini berarti data profesionalisme auditor pria dan wanita memiliki varians yang sama. Hasil dari uji T pun juga memberikan nilai signifikan T-Test dari equal variances assumed yang lebih besar dari taraf signifikansi 0.05, yaitu sebesar 0.787. Hasil tersebut menyimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan profesionalisme antara auditor pria dan wanita.


KESIMPULAN

Simpulan Riset Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis ada tidaknya perbedaan gender terhadap perilaku etis, orientasi etis dan profesionalisme auditor KAP di Surabaya. Hasil pengujian hipotesis dan analisis yang telah dilakukan penulis menyimpulkan bahwa tidak adanya perbedaan perilaku etis antara auditor pria dan wanita. Hal ini menunjukkan bahwa setiap auditor harus tetap memiliki perilaku etis yang sama dalam menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan kode etik akuntan publik. Hasil penelitian ini juga menyimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan orientasi etis antara auditor pria dan wanita. Hal ini dikarenakan gender tidak dapat mempengaruhi seorang auditor untuk sadar dalam menentukan sikap yang tepat jika menghadapi suatu dilema etis. Gender juga tidak berpengaruh terhadap pengambilan keputusan etis, baik ketika menilai tindakan yang dilakukan orang lain maupun ketika berhadapan sendiri dengan dilema etis. Simpulan lain yang dapat ditarik dalam penelitian ini adalah tidak terdapat perbedaan profesionalisme antara auditor pria dan wanita. Simpulan ini menunjukkan bahwa pria dan wanita memiliki peluang yang sama sebagai seorang auditor dengan tanggung jawab dan prestasi yang juga sama. Hal ini berarti berbagai sifat dan karakter masing– masing auditor tidak mempengaruhi sikap professional mereka dalam bekerja. Sikap profesional itulah yang akan membuat kinerja auditor dapat dipercaya oleh masyarakat.
Oleh karena itu, setiap auditor, baik pria mupun wanita, harus menunjukkan perilaku etis, orientasi etis dan sikap profesionalisme yang sama dalam bekerja. Implikasi Hasil penelitian ini dapat memberikan bukti bahwa tidak terdapat perbedaan antara auditor pria dan wanita terkait perilaku etis, orientasi etis dan profesionalisme. Hal ini diharapkan dapat menjadi referensi dan memberikan kontribusi bagi peneliti selanjutnya maupun para akademisi dalam rangka mengembangkan teori yang berkaitan dengan akuntansi keperilakuan, auditing dan profesionalisme. Selain itu, hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran kepada KAP bahwa tidak ada perbedaan bagi auditor pria dan wanita di Surabaya untuk berperilaku etis, berorientasi etis dan bersikap profesional dalam bekerja. Setiap KAP di Surabaya dapat mempekerjakan auditor tanpa membedakan gender, serta meningkatkan etika dan sikap professional auditornya. Begitu pula dengan auditor hendaknya tetap mempertahankan prioritas etis mereka dan selalu bersikap profesional dalam menyelesaikan pekerjaan agar kinerja mereka dapat dipercaya oleh masyarakat Indonesia. Mereka dapat mengetahui bahwa gender tidak mempengaruhi mereka agar dapat berperilaku etis dan mampu meningkatkan profesionalisme sebagai akuntan publik yang handal.

Rekomendasi
Penelitian ini masih memiliki keterbatasan yang tidak dapat dilakukan oleh penulis, serta ada beberapa rekomendasi yang dapat diberikan agar keterbatasan tersebut diperbaiki oleh penelitian selanjutnya. Pertama, penelitian ini hanya menggunakan metode pengumpulan data primer melalui kuesioner yang secara langsung diberikan kepada objek penelitian. Metode ini hanya mampu mengambil kesimpulan yang didasarkan pada persepsi responden melalui instrumen tertulis, sedangkan persepsi orang berbeda-beda dalam mengartikan sesuatu yang disampaikan secara tertulis, sehingga pada penelitian selanjutnya dapat dilakukan pula metode pengumpulan data yang lain, seperti wawancara langsung dan lain-lain. Kedua, analisis dan pembahasan perbedaan orientasi etis berdasarkan gender hanya diukur melalui dua indikator saja, yaitu idealisme dan relativisme. Penelitian ini seharusnya masih perlu diuji dan dianalisis kembali dengan mempertimbangkan faktor – faktor lain, seperti utilitarianisme, justice, egoism dan deontological. Ketiga, penelitian ini hanya terbatas didasarkan pada perbedaan gender. Penelitian selanjutnya diharapkan melakukan penelitian tidak hanya didasarkan pada gender, tetapi juga bisa menambahkan perbedaan wilayah, usia, disiplin ilmu dan sebagainya. Terakhir, penelitian selanjutnya hendaknya lebih memperluas sampel penelitian tidak hanya pada auditor saja, tetapi juga bisa memasukkan kelompok sampel lain, seperti akuntan pendidikan, akuntan manajemen atau akuntan pemerintahan. Semua rekomendasi ini diharapkan dapat menjadikan penelitian selanjutnya agar lebih komprehensif, obyektif dan akurat.


TEORI
Seorang auditor dapat diandalkan jika mereka mampu menjadi seorang profesional yang independen, memiliki pengetahuan audit yang memadai, serta memahami dengan benar pelaksanaan etika dalam menjalankan profesinya (Herawaty dan Susanto, 2009). Pengembangan dan kesadaran etis memegang peran penting dalam dunia akuntansi, sehingga profesi akuntan tidak boleh lepas dari etika bisnis (Ludigdo et al., 1999 dalam Nugrahaningsih, 2005).
Hebert et al. (1990) dalam Januarti (2011) menyatakan bahwa sensitivitas etis adalah kemampuan seseorang untuk mengetahui adanya permasalahan etis yang terjadi di lingkungan kerjanya. Harsanti et al. (2002) dalam Crismastuti et al. (2004) menyatakan bahwa kemampuan seorang profesional untuk mengerti dan sensitif terhadap masalah-masalah etika dalam profesinya dipengaruhi oleh lingkungan budaya tempat profesi tersebut, lingkungan profesi, lingkungan organisasi dan pengalaman pribadi. Selain itu, faktor-faktor individual yang menjadi cirri pembawaan sejak lahir juga mempengaruhi dalam pengambilan keputusan etis, seperti gender, umur, kebangsaan dan lain-lain. Khomsiyah dan Indriantoro (1998) dalam Januarti (2011) juga menyatakan bahwa orientasi etis berpengaruh signifikan terhadap sensitivitas. Comunale et al. (2006) menambahkan bahwa orientasi etis dapat mempengaruhi reaksi yang timbul terhadap suatu kejadian atau masalah.
Mutmainah (2007) menyatakan bahwa wanita lebih sensitif dalam hal etika ketika mengungkapkan suatu kejadian etis atau tidak etis, serta memiliki latar belakang dan pengembangan moral yang lebih baik jika dibandingkan dengan pria. Seringkali wanita tidak menginginkan penyajian informasi yang salah tentang laporan keuangan suatu perusahaan dan mereka mampu membuat perubahan struktural dalam organisasi saat dirinya memiliki kekuasaan
di bidang perekonomian. Hal ini didukung dengan hasil penelitian Mutmainah (2007) yang menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan orientasi etis diantara pria dan wanita. Cohen et al. (1998) dalam Mutmainah (2007) juga memperkuat pernyataan jika wanita lebih memiliki sensitivitas etis dibandingkan pria di dalam situasi dilemma etis. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Comunale et al. (2006) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang tidak signifikan antara variabel gender dan pertimbangan etika individu.

-          ETIKA

Etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir (Djaddang, 2006). Menurut Harsono (1997), etika adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah benar atau salah. Hal ini dikarenakan etika sama halnya dengan
moralitas, yaitu  adat kebiasaan yang menjadi sistem nilai sebagai pedoman dan tolak ukur yang baik dan buruk (Bertens, 1993). Dari kedua pengertian tersebut, etika dapat disimpulkan sebagai ilmu yang mengatur tentang tingkah laku manusia.Menurut Ikhsan (2008), etika merupakan dasar atau aturan yang menentukan benar atau salah. Sifat sangsi dari etika berupa moral psikologik, dimana mereka yang tidak beretika akan dikucilkan atau disingkirkan dari pergaulan kelompok profesi yang bersangkutan.

-          ETIKA PROFESI
Prinsip-prinsip etika diperlukan oleh suatu profesi, sehingga seorang profesional diharuskan bersikap lebih tinggi dibandingkan masyarakat pada umumnya. Etika profesi mencangkup standar-standar sikap bagi seorang profesional dalam melaksanakan tugasnya (Ikhsan, 2008). Etika profesi dinyatakan secara tertulis dan formal dalam bentuk kode etik. Kode etik bertujuan mengatur suatu kelompok profesi dalam masyarakat melalui ketentuan ketentuan tertulis yang harus dipegang teguh oleh kelompok tersebut (Bertens, 1993).




-          PERILAKU ETIS
Perilaku etis dalam berorganisasi adalahmelaksanakan tindakan secara adil sesuai dengan hukum dan peraturan pemerintah yang dapat diaplikasikan (Ress dan Mitra, 1998 dalam Nugrahaningsih, 2005). Larkin (2000) menyatakan bahwa kemampuan mengidentifikasi perilaku etis dan tidak etis sangat berguna dalam semua profesi, termasuk auditor. Perilaku etis bagi seorang auditor adalah melakukan setiap pekerjaan harus didasarkan pada kode etik akuntan
publik. Apabila seorang auditor melakukan tindakan yang tidak etis, maka hal tersebut akan
merusak kepercayaan masyarakat terhadap profesi auditor. Menurut Sihwahjoeni dan Gudono (2000) dalam Nugrahaningsih (2005), perilaku etis harus didasari persepsi terhadap kode etik, dimana dalam penelitian ini difokuskan pada faktor-faktor atau substansi kode etik akuntan publik, yaitu:
1.      Pelaksanaan kode etik
a.       Wajib menghayati dan mengamalkan kode etik akuntan publik dengan penuh rasa tanggung jawab.
b.      Mempunyai kewajiban moral untuk memelihara pelaksanaan kode etik sehingga mampu memperoleh hasil audit yang berkualitas.
c.       Wajib memastikan bahwa orang-orang yang terlibat dalam pemberian jasa profesional telah mematuhi prinsip obyektivitas.
d.      Mempunyai kewajiban untuk memastikan staf atau auditor yang berada di bawah pengawasan harus menghormati kerahasiaan klien.
e.       Melaksanakan jasa profesional sesuai dengan standar teknis profesional yang relevan.
2.      Penafsiran dan penyempurnaan kode etik
Faktor ini mewajibkan auditor untuk menafsirkan dan meyakini bahwa kode etik sebagai dasar penyempurnaan dalam menjalankan profesinya yang telah dilakukan oleh IAI dalam kongres. Hal ini berlaku pada saat IAI belum membentuk IAPI. Pada masa sekarang, IAPI telah dibentuk oleh IAI di tahun 2007, sehingga factor penafsiran dan penyempurnaan kode etik juga harus disesuaikan dengan perubahan tersebut. Wewenang untuk menyempurnakan kode etik telah menjadi tanggung jawab IAPI, dimana IAPI sebagai organisasi profesi akuntan publik berwenang melaksanakan ujian sertifikasi akuntan publik, penyusunan dan penerbitan standar profesional dan etika akuntan publik, serta menyelenggarakan program pendidikan berkelanjutan bagi seluruh akuntan publik di Indonesia (www.iapi.or.id). Faktor ini dihubungkan dengan beberapa substansi sebagai berikut :
a.       Bahwa IAPI menertibkan penafsiran kode etik untuk memenuhi pertanyaan yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan kode etik di kemudian hari.
b.      Bahwa kepatuhan dalam pelaksanaan kode etik adalah sebagai dasar penyempurnaan dalam menjalankan tugas profesi.
c.       Bahwa dalam kepengurusan pusat IAI telah dibentuk komite kode etik.
d.      Bahwa IAPI berhak melakukan penyempurnaan kode etik.

-          ORIENTASI ETIKA
Orientasi etis diartikan sebagai dasar pemikiran dalam menentukan sikap dan arah secara tepat dan benar yang berhubungan dengan dilema etis (Salim, 1991 dalam Mutmainah, 2007). Hal ini berkaitan dengan konsep diri dan sikap pribadi dalam memandang dan melakukan pertimbangan-pertimbangan moral. Menurut Cohen (1980) dalam Chrismastuti (2004), orientasi seseorang ditentukan kebutuhannya yang berinteraksi dengan pengalaman pribadi dan sistem nilai individu untuk menentukan tujuan dan tindakan yang akan diambilnya. Dalam penelitian-penelitian psikologis, orientasi etis dikendalikan oleh dua karakter, yaitu idealisme dan relativisme.

Idealisme adalah suatu sikap yang menganggap bahwa tindakan yang tepat atau benar akan menimbulkan hasil yang diinginkan tidak melanggar nilai-nilai etika (Forsyth, 1980 dalam Falah, 2007). Seorang individu yang idealis mempunyai prinsip bahwa merugikan orang lain merupakan tindakan yang harus dihindari dan tidak boleh melakukan hal yang berkonsekuensi negatif. Jika terdapat dua pilihan yang semuanya berakibat negatif, maka seorang idealis akan mengambil pilihan yang paling sedikit menimbulkan akibat buruk bagi orang lain.

Relativisme etis merupakan teori yang menilai tindakan dikatakan etis atau tidak tergantung pada pandangan masyarakat itu sendiri (Forsyth, 1980 dalam Falah, 2007). Teori ini meyakini bahwa setiap individu akan memiliki keyakinan etis yang berbeda sehingga tidak ada standar etis yang secara absolut dinyatakan benar. Seorang individu yang memiliki sifat relativisme akan mengasumsikan bahwa tidak mungkin untuk mengembangkan atau mengikuti prinsip-prinsip moral yang berlaku umum ketika membuat keputusan.

-          PROFESIONALISME
Menurut Lee (1995) dalam Ikhsan (2007), profesional merupakan suatu bentuk praktisi yang memiliki komitmen jelas untuk melayani kepentingan publik dan menawarkan kepada klien segala pelayanan yang berhubungan dengan intelektualitas dan ilmu pengetahuan. Seseorang dapat dikatakan profesional jika memenuhi tiga syarat, yaitu ahli dalam menjalankan tugas, sesuai dengan standar profesi yang telah ditetapkan dan berhati-hati dalam melakukan profesinya.

-          GENDER
Istilah gender menurut Umar (1993) dalam Hastuti (2007) adalah suatu konsep kultural yang membedakan antara pria dan wanita dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional di kalangan masyarakat. Perbedaan inilah yang mengakibatkan antara pria dan wanita memiliki penilaiannya sendiri dalam mengelola, mencatat dan mengkomunikasikan hal atau informasi untuk menjadi suatu hasil. Gill Palmer dan Tamilselvi Kandasami (1997) dalam Trisnaningsih (2004) mengklasifikasikan gender dalam dua stereotipe, yaitu sex role stereotype dan
managerial stereotype.

Rabu, 14 Oktober 2015

SOFTSKIL


Nama               : Imamatul Husni
Kelas               : 4EB22
NPM               : 23212645
Matkul             : Etika Profesi Akuntansi
Dosen              : Ibu Early Amein

 
ETIKA SEBAGAI TINJAUAN

A.     Pengertian Etika
Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah sebuah sesuatu di mana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benarsalahbaikburuk, dan tanggung jawab. St. John of Damascus (abad ke-7 Masehi) menempatkan etika di dalam kajian filsafat praktis (practical philosophy).
Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.
Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika)
Menurut Hamzah Yacub, Pengertian Etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dan memperlihatkan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran.
Pengertian Etika menurut Dr. James J. Spillane SJ, Etics atau etika memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Etika mengarah atau menghubungkan penggunaan akal budi individual dengan objektivitas untuk menentukan kebenaran atau kesalahan dan tingkah laku seseorang terhadap orang lain.
Menurut Asmaran, Pengertian Etika adalah studi mengenai tingkah laku manusia, tidak hanya menentukan kebenaran-kebenarannya sebagaimana adanya, tetapi juga menyelidiki manfaat atau kebaikan dari seluruh tingkah laku manusia.
WJS. Poerwadarminta mengemukakan Pengertian Etika, Etika adalah ilmu pengetahuan mengenai asas-asas akhlak (moral).
Pengertian Etika menurut Soergarda Poerbakawatja, Etika ialah filsafat mengenai nilai, kesusilaan, tentang baik dan buruk, kecuali etika mempelajari nilai-nilai, ia juga merupakan pengetahuan mengenai nilai-nilai itu sendiri.


B.     Prinsip-prinsip Etika
a.       Prinsip Keindahan
Prinsip ini mendasari segala sesuatu yang mencakup penikmatan rasa senang terhadap keindahan. Berdasarkan prinsip ini, manusia memperhatikan nilai-nilai keindahan dan ingin menampakkan sesuatu yang indah dalam perilakunya.
b.      Prinsip Persamaan
Setiap manusia pada hakikatnya memiliki hak dan tanggung jawab yang sama, sehingga muncul tuntutan terhadap persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, persamaan ras, serta persamaan dalam berbagai bidang lainnya. Prinsip ini melandasi perilaku yang tidak diskrminatif atas dasar apapun.
c.       Prinsip Kebaikan
Prinsip ini mendasari perilaku individu untuk selalu berupaya berbuat kebaikan dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Prinsip ini biasanya berkenaan dengan nilai-nilai kemanusiaan seperti hormat- menghormati, kasih sayang, membantu orang lain, dan sebagainya.
d.      Prinsip Keadilan
Pengertian keadilan adalah kemauan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya mereka peroleh. Oleh karena itu, prinsip ini mendasari seseorang untuk bertindak adil dan proporsional.
e.       Prinsip Kebebasan
Kebebasan dapat diartikan sebagai keleluasaan individu untuk bertindak atau tidak bertindak sesuai dengan pilihannya sendiri. Dalam prinsip kehidupan dan hak asasi manusia, setiap manusia mempunyai hak untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya sendiri sepanjang tidak merugikan atau mengganggu hak-hak orang lain. Untuk itu kebebasan individu disini diartikan sebagai:
1.      Kemampuan untuk berbuat sesuatu atau menentukan pilihan
2.      Kemampuan yang memungkinkan manusia untuk melaksana-kan
pilihannya tersebut
3.      Kemampuan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
f.        Prinsip Kebenaran
Kebenaran biasanya digunakan dalam logika keilmuan yang muncul dari hasil pemikiran yang logis/rasional. Kebenaran harus dapat dibuktikan dan ditunjukkan agar kebenaran itu dapat diyakini oleh individu dan masyarakat. 

C.     Basis Teori Etika
1.      Teori Teleologi
Teleologi berasal dari bahasa Yunani yaitu telos. Menurut teori ini kualitas etis suatu perbuatan atau tindakan diperoleh dengan dicapainya tujuan dari perbuatan itu sendiri. Ada dua macam aliran dalam teori teleologi ini yaitu: utilitarisme dan egoisme, pengertiannya dibahas berikutnya.
2.      Teori Deontologi
Deontologi berasal dari bahasa Yunani, deon yang berarti kewajiban. Yaitu kewajiban manusia untuk selalu bertindak baik. Suatu tindakan dikatakan baik dan bermoral karena tindakan tersebut dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang harus dilaksanakan bukan pada tujuan atau akibat dari tindakan tersebut.
3.      Teori Hak
Teori Hak merupakan suatu aspek  dari teori deontologi, karena berkaitan dengan kewajiban. Hak dan kewajiban bagaikan dua sisi uang logam yang sama. Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena itu hak sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis.
4.      Teori Keutamaan (Virtue)
Teori Keutamaan adalah memandang  sikap atau akhlak seseorang. Tidak ditanyakan apakah suatu perbuatan tertentu adil, atau jujur, atau murah hati dan sebagainya. Keutamaan bisa didefinisikan  sebagai berikut : disposisi watak  yang telah diperoleh  seseorang dan memungkinkan  dia untuk bertingkah laku baik secara moral. Contoh keutamaan : kebijaksanaan, keadilan, suka bekerja keras, dan hidup yang baik.

D.     Egoism
Egoisme merupakan motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang hanya menguntungkan diri sendiri. Egoisme berarti menempatkan diri di tengah satu tujuan serta tidak peduli dengan penderitaan orang lain, termasuk yang dicintainya atau yang dianggap sebagai teman dekat. Istilah lainnya adalah "egois". Lawan dari egoisme adalah altruisme.
Hal ini berkaitan erat dengan narsisme, atau "mencintai diri sendiri," dan kecenderungan mungkin untuk berbicara atau menulis tentang diri sendiri dengan rasa sombong dan panjang lebar. Egoisme dapat hidup berdampingan dengan kepentingannya sendiri, bahkan pada saat penolakan orang lain. Sombong adalah sifat yang menggambarkan karakter seseorang yang bertindak untuk memperoleh nilai dalam jumlah yang lebih banyak daripada yang ia memberikan kepada orang lain. Egoisme sering dilakukan dengan memanfaatkan altruisme, irasionalitas dan kebodohan orang lain, serta memanfaatkan kekuatan diri sendiri dan / atau kecerdikan untuk menipu.
Egoisme berbeda dari altruisme, atau bertindak untuk mendapatkan nilai kurang dari yang diberikan, dan egoisme, keyakinan bahwa nilai-nilai lebih didapatkan dari yang boleh diberikan. Berbagai bentuk "egoisme empiris" bisa sama dengan egoisme, selama nilai manfaat individu diri sendirinya masih dianggap sempurna.
Istilah "egoisme" berasal dari bahasa Yunani yakni ego yang berarti "Diri" atau "Saya", dan -isme, yang digunakan untuk menunjukkan filsafat. Dengan demikian, istilah ini etimologis berhubungan sangat erat dengan egoisme.

PERILAKU ETIKA DALAM BISNIS

A.     Lingkungan Bisnis yang Mempengaruhi Perilaku Bisnis
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain yaitu pengendalian diri, pengembangan tanggung jawab sosial, mempertahankan jati diri, menciptakan persaingan yang sehat, menerapkan konsep pembangunan tanggung jawab sosial, mempertahankan jati diri, menciptakan persaingan yang sehat, menerapkan konsep pembangunan yang berkelanjutan, menghindari sikap 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi, dan Komisi) mampu mengatakan yang benar itu benar, dll.
Dengan adanya moral dan etika dalam dunia bisnis, serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang itu dapat dikurangi, serta kita optimis salah satu kendala dalam menghadapi era globalisasi dapat diatasi.
Moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan atau rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi.
Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya. Mengapa ?
Dunia bisnis, yang tidak ada menyangkut hubungan antara pengusaha dengan pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara nasional bahkan internasional. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.

B.     Kesaling Ketergantungan antara Bisnis dan Masyarakat
Pada kenyataan yang ada pada saat ini, masih banyak dari masyarakat yang belum mengenali apa itu etika dalam berbisnis bahkan sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa berbisnis tidak perlu menggunakan etika, karena urusan etika hanya berlaku di masyarakat yang memiliki kultur budaya yang kuat. Ataupun etika hanya menjadi wilayah pribadi seseorang. Tetapi pada kenyataannya etika tetap saja masih berlaku dan banyak diterapkan di masyarakat itu sendiri. Bagaimana dengan di lingkungan perusahaan ?
Perusahaan juga sebuah organisasi yang memiliki struktur yang cukup jelas dalam pengelolaannya. Ada banyak interaksi antar pribadi maupun institusi yang terlibat di dalamnya. Dengan begitu kecenderungan untuk terjadinya konflik dan terbukanya penyelewengan sangat mungkin terjadi. Baik dalam tataran manajemen ataupun personal dalam setiap team maupun hubungan perusahaan dengan lingkungan sekitar. Untuk itu etika diperlukan sebagai kontrol akan kebijakan, demi kepentingan perusahaan itu sendiri. Oleh karena itu kewajiban perusahaan adalah mengejar berbagai sasaran jangka panjang yang baik bagi masyarakat. Terdapat dua pandangan tanggung jawab sosial, yaitu :
1.      Pandangan klasik
Pandangan ini menyatakan bahwa tanggung jawab sosial manajemen hanyalah memaksimalkan laba. Pada pandangan ini manajer mempunyai kewajiban menjalankan bisnis sesuai dengan kepentingan terbesar pemilik saham karena kepentingan pemilik saham adalah tujuan utama perusahaan.
2.      Pandangan sosial ekonomi
Pandangan ini menyatakan bahwa tanggung jawab sosial manajemen bukan sekedar menghasilkan laba, tetapi juga mencakup melindungi dan meningkatkan kesejahteraan sosial. Pandangan ini juga berpendapat bahwa perusahaan bukan intitas independent yang bertanggung jawab hanya terhadap pemegang saham, tetapi juga terhadap masyarakat.

C.     Kepedulian Pelaku Bisnis Terhadap Etika
Dalam berbisnis tidak semua pelaku bisnis menyadari apa dampak ekonomi dan sosial dari apa yang mereka lakukan. Apalagi yang bersifat dampak tidak langsung lebih tidak disadari lagi. Oleh karena itu pelaku bisnis harus peduli terhadap etika karena etika itu sangat penting. Tindakan dianggap beretika apabila pihak satu dengan pihak lainnya saling timbal balik dan beritikad baik. Bisa jadi saling menguntungkan satu sama lainnya.
Ada hal – hal yang perlu diperhatikan dalam menciptakan etika bisnis, yaitu :
1.      Pengendalian diri.
2.      Pengembangan tanggung jawab sosial perusahaan.
3.      Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang – ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi.
4.      Menciptakan persaingan yang sehat.
5.      Menerapkan konsep “ pembangunan berkelanjutan “
6.      Menghindari sifat KKN ( Kolusi, Korupsi, Nepotisme ) yang merusak tatanan moral, dll.

D.     Perkembangan Dalam Etika Bisnis
Seiring dengan adanya globalisasi, maka dunia bisnis pun mau tidak mau harus mengikuti keadaan ini. Oleh karena itu, perusahaan yang melakukan aktivitas bisnisnya tentu harus mengikuti  norma-norma dan  aturan yang berlaku pada zaman sekarang. Kegiatan bisnis penuh dengan pasang surut, siasat, taktik maupun cara-cara strategis dan bahkan saling jegal antarpesaing sering kali terjadi.
Dapat dipahami jika masyarakat secara umum, terutama pada pelaku bisnis, agak sulit mengerti hubungan antara bisnis dengan etika, karena merupakan sebuah kontradiktif. Akan tetapi, pada kenyataannya pelaku bisnis maupun institusi bisnis yang tidak melakukan kegiatannya sesuai norma, aturan, maupun etika akan mendapatkan citra yang buruk di masyarakat, dan cepat atau lambat akan merugikan perusahaan itu sendiri. Ditambah dengan cepatnya arus informasi, sehingga segala bentuk kegiatan yang konotasinya negatif akan cepat menyebar luas.
Bisnis yang dilakukan sesuai denga aturan, norma, dan etika akan menguntungkan perusahaan itu sendiri maupun masyarakat luas. Karena citra perusahaan yang baik, seperti akuntabel, dan memiliki good governance adalah citra perusahaan yang penting baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang.
Untuk mengetahui etika bisnis secara terperinci, maka berikut perkembangannya (Bertens, 2000).
1.      Zaman Prasejarah : Pada awal sejarah filsafat, Plato, Aristoteles, dan filsu-filsu Yunani lain menyelidiki bagaimana sebaiknya mengatur kehidupan manusia bersama dalam negara dan membahas bagaimana kehidupan ekonomi dan kegiatan noaga harus diatur.
2.      Masa Peralihan : Pada 1960-an : dimulainya pemberontakan terhadap kuasa dan otoritas di Amerika Serikat (AS), revolusi mahasiswa ( di ibukota Prancis), penolakan terhadap establishment (kemampanan). Hal ini member perhatian pada dunia pendidikan, khususnya bidang ilmu manajemen, yaitu dengan menambahkan mat kuliah baru dalam kurikulum dengan nama Business and Society. Topik masalah yang paling sering dibahas adalah corporate social responsibility.
3.      Etika Bisnis Lahir di Amerika Serikat pada 1970-an yang mana sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis di sekitar bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang sedang meliputi dunia bisnis di Amerika Serikat pada saat itu.
4.      Etika Bisnis meluas ke Eropa : tahun 1980-an di Eropa Barat, etika bisnis sebagai ilmu baru mulai berkembang kira-kira 10 tahun kemudian. Terdapat forum pertemuan antara akademis dari universitas serta sekolah bisnis yang disebut European Business Ethics Network (EBEN).
5.      Etika Bisnis menjadi Fenomena Secara Global pada 1990-an, dan tidah hanya terbatas lagi pada duni Barat (Eropa, Amerika Serikat). Tetapi etika bisnis sudah dikembangkan di seluruh dunia. Bahkan telah didirikan International Society for Business, Economics, and Etchis (ISBEE) pada 25-28 juli 1988 di Tokyo, Jepang.

E.      Etika Bisnis dan Akuntansi
Dalam menjalankan profesinya seorang akuntan di Indonesia diatur oleh suatu kode etik profesi dengan nama kode etik Ikatan Akuntan Indonesia. Kode etik Ikatan Akuntan Indonesia merupakan tatanan etika dan prinsip moral yang memberikan pedoman kepada akuntan untuk berhubungan dengan klien, sesama anggota profesi dan juga dengan masyarakat. Selain dengan kode etik akuntan juga merupakan alat atau sarana untuk klien, pemakai laporan keuangan atau masyarakat pada umumnya, tentang kualitas atau mutu jasa yang diberikannya karena melalui serangkaian pertimbangan etika sebagaimana yang diatur dalam kode etik profesi.
Akuntansi sebagai profesi memiliki kewajiban untuk mengabaikan kepentingan pribadi dan mengikuti etika profesi yang telah ditetapkan. Kewajiban akuntan sebagai profesional mempunyai tiga kewajiban yaitu; kompetensi, objektif dan mengutamakan integritas. Kasus enron, xerok, merck, vivendi universal dan bebarapa kasus serupa lainnya telah membuktikan bahwa etika sangat diperlukan dalam bisnis. Tanpa etika di dalam bisnis, maka perdaganan tidak akan berfungsi dengan baik. Kita harus mengakui bahwa akuntansi adalah bisnis, dan tanggung jawab utama dari bisnis adalah memaksimalkan keuntungan atau nilai shareholder. Tetapi kalau hal ini dilakukan tanpa memperhatikan etika, maka hasilnya sangat merugikan. Banyak orang yang menjalankan bisnis tetapi tetap berpandangan bahwa, bisnis tidak memerlukan etika.



DAFTAR PUSTAKA

Agus Arijanto, 2011. Etika Bisnis Bagi Pelaku Bisnis. Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Agoes Sukrisno dan Ardana, I Centik (2011), Etika Bisnis dan Profesi-Tantangan Membangun Manusia Seutuhnya, Penerbit: Salemba Empat Jakarta.

Dr. H. Budi Untung, SH., MM. 2012. Hukum dan Etika Bisnis. Jogjakarta: Andi Yogyakarta.

Silvia Syahraini . Pemetaan Perilaku Mahasiswa Ekonomi Ditinjau dari Perspektif Etika Teleologi. 2010

Susanti, Beny. 2008. Modul Kuliah Etika Profesi Akuntansi. Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma. Jakarta.