Kelas : 4EB22
NPM : 23212645
TUGAS SOFTSKILL
JUDUL : Analisis Perbedaan Gender terhadap Perilaku Etis, Orientasi Etis dan
Profesionalisme pada
Auditor KAP di Surabaya
PENGARANG
: Julia Rosdiana
Dewi, Luky Patricia Widianingsih, Vierly Ananta Upa
PENERBIT : Jurnal GEMA
AKTUALITA, Vol. 3 No. 1, Juni 2014
ISI :
-
LATAR
BELAKANG :
Jasa audit akuntan publik sudah menjadi
kebutuhan utama dalam memberikan opini bagi para pemakai laporan keuangan untuk
pengambilan keputusan. Hal ini dikarenakan banyaknya kasus di dunia akuntan
yang tidak lagi mempertimbangkan etika demi mendapatkan keuntungan yang besar,
seperti kasus Enron tahun 2001, WorldCom tahun 2001, Kimia Farma tahun 2002,
Telkom tahun 2002 dan Lippo tahun 2003 (Hery dan Agustiny, 2007).
Perilaku tidak etis muncul disaat
seorang auditor melakukan pemeriksaan terhadap laporan keuangan suatu
perusahaan. Tindakan tersebut merugikan banyak pihak yang terlibat dan
menimbulkan ketidakpercayaan, baik terhadap laporan keuangan yang disajikan
oleh perusahaan tersebut maupun kinerja para auditor.
Seorang auditor diwajibkan memiliki
pengetahuan etika yang tinggi dan lebih sensitif terhadap kode etik akuntan
publik. Selain itu, mereka juga harus menjaga standar perilaku etis tertingginya
dan mempunyai tanggung jawab untuk menjadi kompeten, integritas dan
objektivitas. Hal ini dikarenakan auditor selalu mengalami dilema etis yang
akan melibatkan pilihan antara nilai-nilai yang bertentangan.
Sensitivitas etis menjadi salah satu
syarat bagi seorang auditor untuk mengenali suatu isu etis. Banyaknya penelitian
yang berfokus pada sensitivitas etika telah menumbuhkan gagasan bahwa proses
sensitivitas etika seseorang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan etis.
Tingkat profesionalisme yang tinggi juga
dituntut harus ada dalam diri seorang auditor untuk membangun kepercayaan
publik, serta meyakinkan semua pihak terhadap kualitas jasa yang diberikan.
Banyak isu yang mempertanyakan tentang keprofesionalismean seorang auditor
karena kinerja mereka dalam memeriksa laporan keuangan yang buruk sehingga
banyak mengandung kesalahan, baik disengaja maupun tidak disengaja.
Tindakan mengakibatkan kewajaran atas
laporan keuanganmenjadi diragukan oleh para pemakai laporan keuangan (Herawaty
dan Susanto, 2009). Abdurrahim (1998) dan Santosa (2001) dalam Ikhsan (2007)
menyatakan bahwa terdapat perbedaan sikap antara pria dan wanita dalam merespon
motivasi dan segala perubahan yang terjadi di lingkungan kerjanya. Hal ini
dikarenakan adanya peran domestik di keluarga dan diskriminasi yang dihadapi
oleh wanita dalam segala aspek sehingga mempengaruhi sikap profesionalisme
mereka. Ikhsan (2007) sendiri menyatakan bahwa tidak ada perbedaan tingkat
profesionalisme auditor jika dilihat dari perbedaan gender. Adanya ketidak konsistenan
kinerja akuntan publik berdasarkan isu gender, baik dalam perilaku etis,
orientasi etis maupun tingkat profesionalisme seorang auditor, maka penulis tertarik
untuk mengkaji lebih lanjut dengan penelitian yang berjudul “Analisis Perbedaan
Gender terhadap Perilaku Etis, Orientasi Etis dan Profesionalisme pada Auditor
KAP di Surabaya”.
-
TUJUAN
DAN MASALAH
·
RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan
uraian di atas, maka masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah
apakah terdapat perbedaan perilaku etis, orientasi etis dan profesionalisme
antara auditor pria dan wanita?
·
TUJUAN
Penelitian
ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis tentang perbedaan perilaku etis,
orientasi etis dan profesionalisme jika dilihat dari gender.
-
DATA
Sumber data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang meneliti secara langsung
auditor KAP melalui daftar pernyataan (kuesioner) yang telah terstruktur.
-
ALAT
ANALISIS
Pengambilan
sampel yang dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling. Penelitian
ini melalui beberapa tahap analisis data. Tahap pertama adalah uji non respon
bias untuk membandingkan jawaban responden yang kembali sesuai jadwal dengan
yang tidak sesuai jadwal pengembalian melalui uji T-Test.
Pengujian ini
merupakan perhitungan rata-rata tanggapan dari responden terhadap variabel-variabel
penelitian dengan tarif signifikansi 5% (ρ > 0.05). Tahap kedua melakukan
uji kualitas data, yaitu uji validitas dan uji reliabilitas. Uji validitas
dilakukan dengan menggunakan analisis butir. Korelasi yang digunakan adalah pearson
product moment dengan membandingkan nilai koefisien korelasi dengan 0.3.
Hanya item yang memiliki nilai korelasi lebih tinggi dari 0.3 yang diikutsertakan
dalam pengujian (Sugiyono, 2007). Uji reliabilitas dimaksudkan untuk mengukur
suatu kuesioner yang merupakan indikator dari variabel. Suatu kuesioner dikatakan
reliable atau handal jika jawaban seseorang terhadap pernyataan adalah
konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Reliabilitas dalam penelitian ini
diuji dengan menggunakan koefisien cronbach alpha. Jika nilai koefisien alpha
lebih besar dari 0.6 maka disimpulkan bahwa instrumen penelitian tersebut
handal atau reliable (Nunnally, 1960 dalam Ghozali, 2006).
Ketiga, peneliti
melakukan uji normalitas untuk mengetahui apakah suatu variabel terdistribusi
secara normal atau tidak (Ghozali, 2006). Uji normalitas dilakukan dengan
menggunakan uji Kolmogorof-Smirnov. Pengambilan keputusan dilakukan
dengan membandingkan ρ value yang diperoleh dari hasil pengujian
normalitas dengan tingkat signifikansi sebesar (α) 0.05. Data terdistribusi
secara normal jika ρ value > (α) 0.05, tetapi jika ρ value <
(α) 0.05 maka data tidak terdistribusi normal (Ghozali, 2006). Tahap terakhir,
peneliti menganalisis perilaku etis, orientasi etis dan tingkat profesionalisme
berdasarkan gender diukur menggunakan Independent Sample T-Test untuk
menguji signifikansi beda rata-rata dua kelompok yang tidak berhubungan satu
sama lain terkait variabel-variabel tersebut (Ghozali, 2006).
-
HASIL/KESIMPULAN
Uji
Non Respon Bias
![](file:///C:/Users/user/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg)
Statistik
Deskriptif
Tabel 2 menunjukkan nilai rata-rata
sangat tinggi pada variabel perilaku etis, baik antara auditor pria dan
wanita. Hal ini menunjukkan bahwa responden pria dan wanita memiliki
perilaku etis yang sangat tinggi dalam melakukan pekerjaannya sebagai
auditor. Nilai rata-rata pada variabel orientasi etis dan
profesionalisme auditor pria dengan wanita memiliki kategori yang
tinggi, tetapi nilai rata-rata responden pria lebih tinggi dibandingkan
wanita. Oleh karena itu, responden pria dinyatakan lebih tinggi dalam
berorientasi etis dan bersikap professional dibandingkan wanita.
![](file:///C:/Users/user/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image004.jpg)
Uji Validitas
Pengujian ini menggunakan Pearson
Correlation yang membandingkan nilai koefisien korelasi dengan 0.3 (df).
Semua pernyataan dari variabel perilaku etis, orientasi etis dan
profesionalisme pada penelitian ini menunjukkan bahwa nilai koefisien
korelasinya lebih besar dari 0.3. Hal ini berarti semua pernyataan yang
berjumlah 51 butir dari 84 responden dapat dinyatakan valid. Data yang
telah valid tersebut layak dipakai penulis pada pengujian selanjutnya
dalam penelitian ini.
Uji Reliabilitas
![](file:///C:/Users/user/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image006.jpg)
Uji Normalitas
![](file:///C:/Users/user/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image008.jpg)
Pengujian terakhir dalam penelitian ini
adalah pengujian hipotesis yang menggunakan Independent Sample T-Test.
Hal ini dikarenakan penelitian ini menguji tentang perbedaan antara responden
pria sebanyak 40 orang dan wanita sebanyak 44 orang terhadap variabel perilaku
etis, orientasi etis dan profesionalisme. Pengujian hipotesis dengan Independent
Sample T-Test digunakan untuk menguji signifikansi beda rata-rata dua
kelompok yang tidak berhubungan satu sama lain terkait variabel-variabel tersebut
(Ghozali, 2006). Penarikan kesimpulan hipotesis dilihat dari hasil perbandingan
tingkat signifikan uji T sebesar 0.05. Langkah pertama yang harus dilakukan
dalam mengintepretasikan hasil uji T adalah mengidentifikasikan terlebih dahulu
nilai signifikansi pada uji Levene.
Pada Tabel 5, variabel perilaku etis
memiliki nilai signifikansi dari Uji Levene lebih besar dari batas toleransi
0.05, yaitu sebesar 0.111. Hal ini menunjukkan bahwa data perilaku etis antara
auditor pria dan wanita memiliki varians yang sama. Nilai signikansi uji T pada
equal variances assumed juga menunjukkan nilai yang lebih besar dari
taraf signifikansi 0.05, yaitu sebesar 0.996. Hasil analisis uji T pada
variabel perilaku etis ini menyatakan bahwa tidak ada perbedaan perilaku etis
antara auditor pria dan wanita. Variabel orientasi etis memiliki nilai
signifikansi uji Levene yang lebih besar dari batas toleransi 0.05, yaitu sebesar
0.583. Hasil uji Levene ini menetapkan bahwa data orientasi etis memiliki
varians yang sama antara auditor pria dan wanita. Uji T pada variabel ini
memberikan nilai signifikan yang lebih besar dari taraf signifikansi 0.05. Hal ini
dapat dilihat pada nilai signifikan T – Test dari equal variances
assumed sebesar 0.279. Nilai uji T yang lebih besar dari taraf signifikan
tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan orientasi etis antara
auditor pria dan wanita. Uji Levene pada variabel profesionalisme juga menunjukkan
nilai signifikansi sebesar 0.626 yang lebih besar dari batas toleransi 0.05.
Hal ini berarti data profesionalisme auditor pria dan wanita memiliki varians yang
sama. Hasil dari uji T pun juga memberikan nilai signifikan T-Test dari equal
variances assumed yang lebih besar dari taraf signifikansi 0.05, yaitu
sebesar 0.787. Hasil tersebut menyimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan profesionalisme
antara auditor pria dan wanita.
KESIMPULAN
Simpulan Riset Penelitian ini
bertujuan untuk menguji dan menganalisis ada tidaknya perbedaan gender
terhadap perilaku etis, orientasi etis dan profesionalisme auditor KAP
di Surabaya. Hasil pengujian hipotesis dan analisis yang telah
dilakukan penulis menyimpulkan bahwa tidak adanya perbedaan perilaku
etis antara auditor pria dan wanita. Hal ini menunjukkan bahwa setiap
auditor harus tetap memiliki perilaku etis yang sama dalam menyelesaikan
pekerjaan sesuai dengan kode etik akuntan publik. Hasil penelitian ini
juga menyimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan orientasi etis
antara auditor pria dan wanita. Hal ini dikarenakan gender tidak dapat
mempengaruhi seorang auditor untuk sadar dalam menentukan sikap yang
tepat jika menghadapi suatu dilema etis. Gender juga tidak berpengaruh
terhadap pengambilan keputusan etis, baik ketika menilai tindakan yang
dilakukan orang lain maupun ketika berhadapan sendiri dengan dilema
etis. Simpulan lain yang dapat ditarik dalam penelitian ini
adalah tidak terdapat perbedaan profesionalisme antara auditor pria dan
wanita. Simpulan ini menunjukkan bahwa pria dan wanita memiliki peluang yang
sama sebagai seorang auditor dengan tanggung jawab dan prestasi yang juga
sama. Hal ini berarti berbagai sifat dan karakter masing– masing auditor tidak
mempengaruhi sikap professional mereka dalam bekerja. Sikap profesional
itulah yang akan membuat kinerja auditor dapat dipercaya oleh
masyarakat.
Oleh karena itu, setiap auditor, baik
pria mupun wanita, harus menunjukkan perilaku etis, orientasi etis dan
sikap profesionalisme yang sama dalam bekerja. Implikasi Hasil
penelitian ini dapat memberikan bukti bahwa tidak terdapat perbedaan
antara auditor pria dan wanita terkait perilaku etis, orientasi etis dan
profesionalisme. Hal ini diharapkan dapat menjadi referensi dan
memberikan kontribusi bagi peneliti selanjutnya maupun para akademisi
dalam rangka mengembangkan teori yang berkaitan dengan akuntansi
keperilakuan, auditing dan profesionalisme. Selain itu, hasil penelitian
ini dapat memberikan gambaran kepada KAP bahwa tidak ada perbedaan bagi
auditor pria dan wanita di Surabaya untuk berperilaku etis, berorientasi
etis dan bersikap profesional dalam bekerja. Setiap KAP di Surabaya
dapat mempekerjakan auditor tanpa membedakan gender, serta meningkatkan
etika dan sikap professional auditornya. Begitu pula dengan auditor
hendaknya tetap mempertahankan prioritas etis mereka dan selalu bersikap
profesional dalam menyelesaikan pekerjaan agar kinerja mereka dapat
dipercaya oleh masyarakat Indonesia. Mereka dapat mengetahui bahwa
gender tidak mempengaruhi mereka agar dapat berperilaku etis dan mampu meningkatkan
profesionalisme sebagai akuntan publik yang handal.
Rekomendasi
Penelitian ini masih memiliki
keterbatasan yang tidak dapat dilakukan oleh penulis, serta ada beberapa
rekomendasi yang dapat diberikan agar keterbatasan tersebut
diperbaiki oleh penelitian selanjutnya. Pertama, penelitian ini hanya
menggunakan metode pengumpulan data primer melalui kuesioner yang secara
langsung diberikan kepada objek penelitian. Metode ini hanya mampu mengambil
kesimpulan yang didasarkan pada persepsi responden melalui instrumen
tertulis, sedangkan persepsi orang berbeda-beda dalam mengartikan
sesuatu yang disampaikan secara tertulis, sehingga pada penelitian selanjutnya
dapat dilakukan pula metode pengumpulan data yang lain, seperti
wawancara langsung dan lain-lain. Kedua, analisis dan pembahasan
perbedaan orientasi etis berdasarkan gender hanya diukur melalui dua
indikator saja, yaitu idealisme dan relativisme. Penelitian ini
seharusnya masih perlu diuji dan dianalisis kembali dengan mempertimbangkan
faktor – faktor lain, seperti utilitarianisme, justice, egoism dan deontological.
Ketiga, penelitian ini hanya terbatas didasarkan pada perbedaan
gender. Penelitian selanjutnya diharapkan melakukan penelitian tidak
hanya didasarkan pada gender, tetapi juga bisa menambahkan perbedaan wilayah,
usia, disiplin ilmu dan sebagainya. Terakhir, penelitian selanjutnya
hendaknya lebih memperluas sampel penelitian tidak hanya pada auditor saja,
tetapi juga bisa memasukkan kelompok sampel lain, seperti akuntan
pendidikan, akuntan manajemen atau akuntan pemerintahan. Semua
rekomendasi ini diharapkan dapat menjadikan penelitian selanjutnya agar
lebih komprehensif, obyektif dan akurat.
TEORI
Seorang auditor dapat
diandalkan jika mereka mampu menjadi seorang profesional yang independen,
memiliki pengetahuan audit yang memadai, serta memahami dengan benar
pelaksanaan etika dalam menjalankan profesinya (Herawaty dan Susanto, 2009). Pengembangan
dan kesadaran etis memegang peran penting dalam dunia akuntansi, sehingga
profesi akuntan tidak boleh lepas dari etika bisnis (Ludigdo et al., 1999
dalam Nugrahaningsih, 2005).
Hebert et al.
(1990) dalam Januarti (2011) menyatakan bahwa sensitivitas etis adalah
kemampuan seseorang untuk mengetahui adanya permasalahan etis yang terjadi di lingkungan
kerjanya. Harsanti et al. (2002) dalam Crismastuti et al. (2004)
menyatakan bahwa kemampuan seorang profesional untuk mengerti dan sensitif
terhadap masalah-masalah etika dalam profesinya dipengaruhi oleh lingkungan
budaya tempat profesi tersebut, lingkungan profesi, lingkungan organisasi dan
pengalaman pribadi. Selain itu, faktor-faktor individual yang menjadi cirri pembawaan
sejak lahir juga mempengaruhi dalam pengambilan keputusan etis, seperti gender,
umur, kebangsaan dan lain-lain. Khomsiyah dan Indriantoro (1998) dalam Januarti
(2011) juga menyatakan bahwa orientasi etis berpengaruh signifikan terhadap
sensitivitas. Comunale et al. (2006) menambahkan bahwa orientasi etis dapat
mempengaruhi reaksi yang timbul terhadap suatu kejadian atau masalah.
Mutmainah (2007)
menyatakan bahwa wanita lebih sensitif dalam hal etika ketika mengungkapkan
suatu kejadian etis atau tidak etis, serta memiliki latar belakang dan pengembangan
moral yang lebih baik jika dibandingkan dengan pria. Seringkali wanita tidak
menginginkan penyajian informasi yang salah tentang laporan keuangan suatu
perusahaan dan mereka mampu membuat perubahan struktural dalam organisasi saat
dirinya memiliki kekuasaan
di
bidang perekonomian. Hal ini didukung dengan hasil penelitian Mutmainah (2007)
yang menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan orientasi etis diantara pria dan
wanita. Cohen et al. (1998) dalam Mutmainah (2007) juga memperkuat
pernyataan jika wanita lebih memiliki sensitivitas etis dibandingkan pria di
dalam situasi dilemma etis. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian
Comunale et al. (2006) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
tidak signifikan antara variabel gender dan pertimbangan etika individu.
-
ETIKA
Etika
berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti kebiasaan, adat, watak,
perasaan, sikap dan cara berpikir (Djaddang, 2006). Menurut Harsono (1997),
etika adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah benar atau salah. Hal
ini dikarenakan etika sama halnya dengan
moralitas,
yaitu adat kebiasaan yang menjadi sistem
nilai sebagai pedoman dan tolak ukur yang baik dan buruk (Bertens, 1993). Dari
kedua pengertian tersebut, etika dapat disimpulkan sebagai ilmu yang mengatur
tentang tingkah laku manusia.Menurut Ikhsan (2008), etika merupakan dasar atau aturan
yang menentukan benar atau salah. Sifat sangsi dari etika berupa moral
psikologik, dimana mereka yang tidak beretika akan dikucilkan atau disingkirkan
dari pergaulan kelompok profesi yang bersangkutan.
-
ETIKA
PROFESI
Prinsip-prinsip
etika diperlukan oleh suatu profesi, sehingga seorang profesional diharuskan
bersikap lebih tinggi dibandingkan masyarakat pada umumnya. Etika profesi
mencangkup standar-standar sikap bagi seorang profesional dalam melaksanakan
tugasnya (Ikhsan, 2008). Etika profesi dinyatakan secara tertulis dan formal
dalam bentuk kode etik. Kode etik bertujuan mengatur suatu kelompok profesi
dalam masyarakat melalui ketentuan ketentuan tertulis yang harus dipegang teguh
oleh kelompok tersebut (Bertens, 1993).
-
PERILAKU
ETIS
Perilaku
etis dalam berorganisasi adalahmelaksanakan tindakan secara adil sesuai dengan
hukum dan peraturan pemerintah yang dapat diaplikasikan (Ress dan Mitra, 1998
dalam Nugrahaningsih, 2005). Larkin (2000) menyatakan bahwa kemampuan mengidentifikasi
perilaku etis dan tidak etis sangat berguna dalam semua profesi, termasuk
auditor. Perilaku etis bagi seorang auditor adalah melakukan setiap pekerjaan
harus didasarkan pada kode etik akuntan
publik.
Apabila seorang auditor melakukan tindakan yang tidak etis, maka hal tersebut
akan
merusak
kepercayaan masyarakat terhadap profesi auditor. Menurut Sihwahjoeni dan Gudono
(2000) dalam Nugrahaningsih (2005), perilaku etis harus didasari persepsi terhadap
kode etik, dimana dalam penelitian ini difokuskan pada faktor-faktor atau substansi
kode etik akuntan publik, yaitu:
1.
Pelaksanaan
kode etik
a.
Wajib
menghayati dan mengamalkan kode etik akuntan publik dengan penuh rasa tanggung
jawab.
b.
Mempunyai
kewajiban moral untuk memelihara pelaksanaan kode etik sehingga mampu
memperoleh hasil audit yang berkualitas.
c.
Wajib
memastikan bahwa orang-orang yang terlibat dalam pemberian jasa profesional
telah mematuhi prinsip obyektivitas.
d.
Mempunyai
kewajiban untuk memastikan staf atau auditor yang berada di bawah pengawasan
harus menghormati kerahasiaan klien.
e.
Melaksanakan
jasa profesional sesuai dengan standar teknis profesional yang relevan.
2.
Penafsiran
dan penyempurnaan kode etik
Faktor ini mewajibkan auditor untuk
menafsirkan dan meyakini bahwa kode etik sebagai dasar penyempurnaan dalam
menjalankan profesinya yang telah dilakukan oleh IAI dalam kongres. Hal ini
berlaku pada saat IAI belum membentuk IAPI. Pada masa sekarang, IAPI telah dibentuk oleh IAI di tahun 2007, sehingga factor penafsiran dan penyempurnaan kode etik juga harus disesuaikan dengan perubahan tersebut. Wewenang untuk menyempurnakan kode etik telah menjadi tanggung jawab
IAPI, dimana IAPI sebagai organisasi profesi
akuntan publik berwenang melaksanakan ujian sertifikasi
akuntan publik, penyusunan dan penerbitan standar
profesional dan etika akuntan publik, serta menyelenggarakan
program pendidikan berkelanjutan bagi seluruh
akuntan publik di Indonesia (www.iapi.or.id). Faktor
ini dihubungkan dengan beberapa substansi
sebagai berikut :
a.
Bahwa IAPI menertibkan penafsiran kode etik untuk memenuhi
pertanyaan yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan kode etik di kemudian
hari.
b.
Bahwa kepatuhan dalam pelaksanaan kode etik adalah sebagai dasar
penyempurnaan dalam menjalankan tugas profesi.
c.
Bahwa dalam kepengurusan pusat IAI telah dibentuk komite kode
etik.
d.
Bahwa IAPI berhak melakukan penyempurnaan kode etik.
-
ORIENTASI ETIKA
Orientasi etis diartikan sebagai dasar
pemikiran dalam menentukan sikap dan arah secara tepat dan benar yang
berhubungan dengan dilema etis (Salim, 1991 dalam Mutmainah, 2007). Hal ini
berkaitan dengan konsep diri dan sikap pribadi dalam memandang dan melakukan pertimbangan-pertimbangan
moral. Menurut Cohen (1980) dalam Chrismastuti (2004), orientasi seseorang
ditentukan kebutuhannya yang berinteraksi dengan pengalaman pribadi dan sistem
nilai individu untuk menentukan tujuan dan tindakan yang akan diambilnya. Dalam
penelitian-penelitian psikologis, orientasi etis dikendalikan oleh dua
karakter, yaitu idealisme dan relativisme.
Idealisme adalah suatu sikap yang
menganggap bahwa tindakan yang tepat atau benar akan menimbulkan hasil yang
diinginkan tidak melanggar nilai-nilai etika (Forsyth, 1980 dalam Falah, 2007).
Seorang individu yang idealis mempunyai prinsip bahwa merugikan orang lain merupakan
tindakan yang harus dihindari dan tidak boleh melakukan hal yang berkonsekuensi
negatif. Jika terdapat dua pilihan yang semuanya berakibat negatif, maka
seorang idealis akan mengambil pilihan yang paling sedikit menimbulkan akibat
buruk bagi orang lain.
Relativisme etis merupakan teori yang menilai tindakan
dikatakan etis atau tidak tergantung pada pandangan masyarakat itu sendiri
(Forsyth, 1980 dalam Falah, 2007). Teori ini meyakini bahwa setiap individu
akan memiliki keyakinan etis yang berbeda sehingga tidak ada standar etis yang
secara absolut dinyatakan benar. Seorang individu yang memiliki sifat
relativisme akan mengasumsikan bahwa tidak mungkin untuk mengembangkan atau
mengikuti prinsip-prinsip moral yang berlaku umum ketika membuat keputusan.
-
PROFESIONALISME
Menurut Lee (1995) dalam Ikhsan (2007), profesional
merupakan suatu bentuk praktisi yang memiliki komitmen jelas untuk melayani
kepentingan publik dan menawarkan kepada klien segala pelayanan yang berhubungan
dengan intelektualitas dan ilmu pengetahuan. Seseorang dapat dikatakan
profesional jika memenuhi tiga syarat, yaitu ahli dalam menjalankan tugas,
sesuai dengan standar profesi yang telah ditetapkan dan berhati-hati dalam melakukan
profesinya.
-
GENDER
Istilah gender
menurut Umar (1993) dalam Hastuti (2007) adalah suatu konsep kultural yang
membedakan antara pria dan wanita dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan
karakteristik emosional di kalangan masyarakat. Perbedaan inilah yang
mengakibatkan antara pria dan wanita memiliki penilaiannya sendiri dalam
mengelola, mencatat dan mengkomunikasikan hal atau informasi untuk menjadi
suatu hasil. Gill Palmer dan Tamilselvi Kandasami (1997) dalam Trisnaningsih
(2004) mengklasifikasikan gender dalam dua stereotipe, yaitu sex role
stereotype dan
managerial
stereotype.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar